SHARE

Istimewa

Benahi pasal "karet"
Inti dari aspirasi atau masukan publik yang mengemuka di media arus utama maupun media sosial belakangan ini adalah mendorong pemangku kepentingan untuk segera membenahi pasal-pasal "karet" yang dinilai masih terdapat dalam RUU KUHP.

Setiap kata dan ketentuan dalam RUU KUHP tentu wajib didefinisikan sejelas-jelasnya agar tidak multitafsir.

Sebagai contoh dalam pasal 188 yang mengatur tentang larangan menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunis, Marxisme dan lain sebagainya. Anggota Dewan Pers Ninik Rahayu mencermati norma hukum dalam pasal itu masih multitafsir.

Misalnya, apa definisi jelas dari kata mengembangkan. Kemudian, apakah seseorang yang melakukan penelitian atau kajian tentang komunisme, Marxisme dan lain sebagainya termasuk dalam kategori mengembangkan ajaran tersebut.

Tidak sampai di situ, pasal 188 juga mengatur ketentuan pidana bagi mereka yang menyebarkan ajaran tersebut dan menyebabkan kerusuhan atau kerugian harta kekayaan, dapat juga dipidana 10 tahun penjara.

Menurut Ninik, cara setiap orang memaknai kerusuhan akan berbeda-beda. Begitu juga dengan kerugian harta kekayaan yang tidak dijelaskan dari sisi nominal dan kapan kerugian itu didera.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva memberi masukan untuk mencegah timbulnya pasal "karet" dalam RUU KUHP, salah satunya terkait penjelasan dan batasan mengenai pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di RUU KUHP.

Senada dengan Ninik, Hamdan juga berharap agar penyusun undang-undang memberikan penjelasan lengkap di dalam RUU KUHP sehingga ruang multitafsir, khususnya untuk pasal penghinaan presiden, bisa hilang.

Hamdan berpandangan masyarakat di negara demokrasi memiliki hak untuk mengkritik pemerintah, serta menyampaikan atau mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap pemerintah.

Yang menjadi persoalan adalah sejauh mana cara penyampaian kritik itu sehingga tidak menyentuh hal-hal yang sangat berkaitan dengan personal.

Menurut Hamdan, kebebasan yang tidak teratur dapat menimbulkan konflik sosial, sehingga mekanisme pidana diperlukan untuk menjaga situasi tetap kondusif, salah satunya melalui pengaturan hukum pidana seperti pembentukan pasal tentang penghinaan pemerintah atau presiden.

Kesimpulannya, pemerintah dan DPR masih memiliki waktu untuk menyerap dan menelaah aspirasi publik, serta memberikan respons atas aspirasi tersebut dengan menyertakan argumentasi.

Pemerintah dan DPR selaku penyusun undang-undang, sekali lagi harus memastikan tidak ada pasal "karet" dalam RUU KUHP demi tujuan pembentukan hukum yang bermanfaat, memberi manfaat kepada kesejahteraan dan keamanan masyarakat, dan tidak berujung pada kriminalisasi publik.

Halaman :
Tags
SHARE