SHARE

Di sidang tahunan bersama MPR, DPR dan DPD republik Indonesia, kembali Jokowi tekankan bahwa peluang Indonesia menentukan nasib mencapai kedigdayaan, lepas keluar dari cangkang sebagai negara berkembang yang terjebak pada pendapatan menengah

CARAPANDANG -Bukan kali pertama Presiden Jokowi ingatkan terkait Indonesia punya kesempatan besar naik kelas menjadi negara maju 5 besar kekuatan ekonomi dunia. Di sidang tahunan bersama MPR, DPR dan DPD republik Indonesia, kembali Jokowi tekankan bahwa peluang Indonesia menentukan nasib mencapai kedigdayaan, lepas keluar dari cangkang sebagai negara berkembang yang terjebak pada pendapatan menengah (middle income trap country). Momentumnya itu ada pada rentan waktu sekarang hingga 13 tahun mendatang.

Jika Indonesia tidak mampu memanfaatkan kesempatan karena hanya sekali saja dalam sepanjang sejarah peradabannya. Maka hilang sia-sia, lewat atau pupus sudah impian besar bangsa take off menaikkan martabatnya. Begitu pula banyak negara-negara lain saat ini seperti terjadi di amerika latin yang tidak pernah mendapatkan kembali momentumnya.

Saya tertegun dengan presiden Jokowi yang berulang-berulang membangunkan nurani bangsa kendati di fase-fase akhir kepemimpinannya yang pasti akan landing sempurna. Jokowi masih memiliki cakrawala desain pembangunan bangsa yang menjangkau masa-masa kecemerlangan. Kehendaknya adiluhung ingin membuahkan keadaban (civility) nasional, dan menunjukkan Indonesia berkelas dunia. Tetapi sekaligus menjadi challenge bagi kita, seluruh elemen bangsa masyarakat Indonesia bagaimana untuk mentransmisikannya secara serius.

Tantangan yang tak mudah dijawab di tengah sederet persoalan baru lain yang menuntut kita harus bersiap menghadapinya. Misalkan daftar permasalahan kini yang disebabkan oleh faktor-faktor geopolitik, situasi persaingan antarbangsa yang kian sengit ekonomi, ideologi transnasional, disrupsi sains teknologi, pengelolaan sumber daya alam, kerentanan pangan, transisi energi, pengangguran, serta bencana iklim ekstrim yang mendegradasi lingkungan.

Saya menangkap entri poin mewanti-wanti dari Presiden Jokowi adalah dibutuhkan adanya peningkatan produktivitas nasional melalui peran serta seluruh elemen bangsa agar setidak-tidaknya mengkonsolidasikan kesadaran, membuang-buang energi pada hal-hal yang tidak produktif tetapi turut berkontribusi sesuai kapasitas kemampuan masing-masing.

Terutama menagih andil tanggung jawab dalam spektrum penduduk usia produktif yang diasosiasikan kepada generasi milenial, dan Gen Z (pemuda). Dimana kian hari mengalami ledakan populasi hingga saban tahun 2030 nanti diperkirakan puncaknya mencapai 68%, atau lebih dari separuh jumlah penduduk Indonesia.

Tidak ada negara di dunia manapun yang kelimpahan bonus demografi seperti yang dimiliki bangsa Indonesia. Menurut World Population Review, Indonesia adalah negara besar keenam dunia, parameternya diukur dari jumlah populasi demografi pemuda, selain berdasarkan luas teritorial wilayah. Generasi muda, angkatan yang lahir pada periode pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2010-an, menempati 26 persen dari populasi masyarakat global.

Bonus demografi ini digadang-gadang sebagai modal sumber daya paling pokok untuk mewujudkan Indonesia emas tahun 2045. Data tersebut menunjukkan betapa generasi muda aset penting yang akan menjadi elan vital penentu yang mempertaruhkan nasib bangsa masa datang. Konsep pembangunan negara berkemajuan yang dicita-citakan Jokowi, masuk akal mengandalkan kaum muda sebagai ujung tombak, tulang-punggungnya, fondasi yang dituntut sumbangsih ganda, meningkatkan aksi-aksi nyata. 

Daya Dukung

Bonus demografi dimaknai sebagai jalur sutra abad kontemporer Indonesia meraih National of power, sebuah masa sangat cerah yang belum pernah bangsa cicip. Namun untuk mencapainya tidak mungkin ujug-ujug serta merta jatuh dari langit, tentu saja mensyaratkan instrument, ada strategi, dan perumusan jalan dari mana memulainya. Terlebih yang menjadi kata kunci paling penting terkait kesiapan negara memfokuskan diri untuk pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) generasi muda sedari dini.

Mematangkan SDM generasi muda sehingga menjadi berkualitas, cerdas, berintegritas, sehat jasmani-rohani, inovatif, produktif, terampil kompetensinya dan juga menjamin inklusivitas keadilan. Syarat ini faktor utama, tugas pemerintah atau negara memenuhinya, sebuah transformasi tetapi bukan dengan retorika apalagi gimmick, melainkan dengan sebuah bukti nyata, keberanian pilihan kebijakan jangka panjang dan termasuk pembenahan sistem. Terhadap apa saja keperluan dan kebutuhan angkatan muda yang paling beragam typicalnya, paling majemuk latar belakang kepercayaan ini.

Daya dukung pemerintah baik dari segi sarana prasarana, infrastruktur perlu secara intensif, serius, konsisten dan berkesinambungan. Guna generasi muda dapat berkembang dan berkreasi, pemerintah dapat memfasilitasinya dengan membuka ruang-ruang kreatif pemuda. Sinergitas program melalui kolaborasi dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan pemuda. Dan bila perlu silahkan memodifikasi atau mendaur ulang program-program yang telah digodok sehingga pro pemuda.

Misalkan kebiasaan-kebiasaan tidak berimbang dari Kementerian Pemuda dan Olahraga yang hanya terkuras perhatiannya mengurus olahraga, sementara menihilkan membangun SDM kepemudaan lainnya, kini saatnya di reformasi orientasinya.

Memberikan penghargaan pada prestasi, inovasi, atau kreasi anak muda dengan menyediakan beasiswa studi luar negeri LPDP yang diibaratkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani kayak 'Palugada', apa yang kamu mau kami ada. Menyekolahkannya dengan baik guna tunas-tunas muda bangsa berwawasan internasional, percaya diri dalam pergaulan global kedepan. Termasuk membukakan lapangan kerja seluas-luasnya. Sebab dalam sebuah survei Populix, cukup banyak alasan terkuat (57%) milenial dan Gen Z (pemuda) yang fokus memilih berkarir.

Mencetak pemuda yang akrab berdaya digital, generasi yang melek sains, informasi teknologi, terobosan penguasaan teknologi menjadi kebutuhan pokok di tengah globalisasi zaman, kemajuan ilmu dan informasi yang sedemikian pesatnya. Ingat tak ada yang mengira, apa yang membuat kedigdayaan China saat ini, kaya-raya dalam tempo yang singkat-singkatnya, ternyata China cepat kuasai teknologi. Dapatkah Indonesia majunya sepesat China?

Sejauh ini terobosan kebijakan-kebijakan yang fokusnya pada segmentasi kepemudaan apa terlihat wujudnya, dapat terkonfirmasi secara statistik jumlah persentase yang disasarnya? Sejumlah data kajian yang dilakukan menunjukkan, bagi kacamata milenial, Gen Z (pemuda), pemerintah dinilai sangat pasif, apatis, kaku dan sama sekali tidak kreatif serta tidak mampu adaptif menyesuaikan diri dengan spektrumnya selera anak-anak muda.

Stimulus Anggaran

Teori sederhana yang perlu diingat, betapapun besarnya kuantitas dan nilai kualitas dalam suatu kelompok akan menjadi lemah, mudah patah bahkan sia-sia bila tanpa disertai keberpihakan atau kemauan baik (good will) pemerintah mengakselerasi pos-pos anggaran agar efektif tepat sasaran. Sejalan dengan hal pokok menaikkan kualitas sumber daya manusia pemuda di atas, dapat dipastikan akan dilakukan pemerintah.

Hal ini tercermin pada susunan nota keuangan Rancangan Anggaran Belanja Negara (RAPBN) tahun 2024 yang tepat dan strategis telah disiapkan dengan total sebesar Rp1340,7 triliun. Di dalamnya terdapat anggaran yang dialokasikan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Pintar Kuliah, perlindungan sosial, Pemberdayaan Gender, Dan juga me-reskilling dan upskilling tenaga kerja melalui Balai Latihan Kerja dan Program Pra-Kerja.

Bukan tanpa alasan kegiatan-kegiatan organisasi kepemudaan selama ini layaknya pepatah, hidup segan mati tak mau, mengandalkan iuran yang bersumber pada sumbangan sukarela. Wajar saja, dan dapatlah dimengerti kehidupan kreativitas, inovasi, dan jasmani-rohani yang sehat anak-anak muda tertatih-tatih tak terlihat tumbuhnya.

Lantaran netes anggaran negara pendukungnya hanya dari sisa-margin keborosan penggunaannya oleh rutinitas birokrasi ASN yang tidak bermanfaat. Selama ini literasi anggaran negara masih rendah, mau untung besar tapi tak mau perhatian serius mengalokasikan anggaran berbasis kebutuhan pembangunan kualitas pemuda. Boleh-boleh saja menyiapkan untuk membayar kenaikan gaji, dan pensiunan, tapi jangan sampai tersedot habis.

Tak ada alasan pemerintah untuk tidak memberikan stimulus anggaran yang bersifat pembinaan sumber daya. Menyalurkan dana insentif subsidi dengan cara-cara menggunakan skema yang mudah. Baik kepada individu-individu berprestasi, klub-klub, maupun kelompok-kelompok organisasi kepemudaan yang resmi memiliki legalitas hukumnya. Peranan anggaran ini pada prinsipnya dapat membesarkan eksistensi pemuda. Anggaran yang menentukan hidup-mati, loyo dan bergairahnya sumber daya.

Jangan Ditantang Arusnya

Ada yang sibuk endorse amandemen UUD 1945, mudah-mudahan diperlukan analisis mandalam. Biarlah tugas academic discourse yang akan membuka kotak pandora politik. Sebab sebangun dengan itu yang luar biasa riskan, baru-baru ini kita dihadapkan fakta politik yang sangat kontrak produktif. Yakni kecurigaan yang berlebihan, banyak atas nama tokoh partai, maupun ormas yang bahkan menolak terhadap gugatan batas minimal usia capres-cawapres menjadi 35 tahun di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sikap yang sebetulnya membuktikan, bukan manuver sekedar mengesankan. Benar-benar absah, bahwa pemuda benar di eluk-elukkan, tetapi di sisi yang lain menantang arusnya. Karena tidak ada juga pernyataan teoritik yang sekiranya mendukung, apakah usia muda tampil akankah melukai, atau berbahaya buat demokrasi? Mana yang paling esensial?

Lagipula padahal kita sama-sama tahu reformasi 1998 yang telah berusia seperempat abad ini dirancang untuk kepentingan jangka panjang. Setelah sekian lama dikekang era otoritarian ORBA (orde baru), kini hak kebebasan politik ikut berkontestasi secara demokrasi pada setiap suksesi kepemimpinan semua boleh tampil seperti juga di negara demokrasi lainnya. Harusnya dimaknai secara objektif, gugatan batas minimal usia sebagai gelombang gerakan ideologis kebangkitan kejayaan orang muda mendapat kesempatan bersaing calon pemimpin bangsa.

Banyak keterlanjuran alasan menganggap kaum muda terlalu blak-blakan, lancang kritiknya dalam mengutarakan pendapat. Terjebak dengan opini-opini skeptis, memandang sebelah mata, dikotomis-dikotomis meremehkan, cap negatif yang melukai hati yang akhirnya terlebih menodai semangat positif kaum muda. Terlupkan pemuda memiliki peran dan sumbangsih yang tidak kecil terhadap lahir dan berdirinya keindonesiaan? Ingat deklarasi sumpah pemuda tahun 1928, adalah kesaksian yang paling nyata, dan tonggak kebenaran peristiwa sakral yang bawa proses proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Sementara itu, jumlah anak muda yang menguntungkan dan berkontribusi besar pada agenda akbar bangsa terdekat kontestasi demokrasi Pemilu, Pilpres, Pileg maupun Pilkada serentak tahun 2024 mendatang. Terungkap riset, bahwa milenial Gen Z (pemuda) dikenal aktif di media sosial, melek politik atau memiliki kepekaan terhadap perkembangan isu-isu politik. Selaras dengan ini, Wakil presiden Ma'ruf Amin sampaikan pada upacara peringatan hari Pramuka ke-62, bahwa pemenang di Pilpres akan ditentukan oleh pilihan anak muda.

Pemuda pemegang kendali, atau penentu hasil Pemilu, siapa yang mampu menjaring suara pemuda, tak luput memberikan perhatian (bukan hanya merayu) tetapi betul-betul punya keberpihakan ke pemuda, maka dia pemenangnya. Sebaliknya jika saja masih ada kandidat yang remehkan pemuda, jangan bermimpi meraup untung.

Sebab berdasarkan data yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), proporsi pemilih berusia 17-39 tahun berkisar lebih dari 56 persen. Dari 204 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT), mayoritas didominasi oleh pemilih muda milenial, dan Gen Z (pemuda). Sebanyak 22,85 persen atau 46 juta merupakan generasi Z, sedangkan pemilih milenial 66 juta atau 33,60 persen. Dibulatkan menjadi 113 juta orang, atau lebih dari 56,45 persen dari total pemilih.

Koalisi Bukan Que Sera-sera

Bukan hanya khawatir akan mendapatkan jeroan kefaedahannya, kita mesti berhati-hati dengan kelak populasi besar era bonus demografi ini beresiko. Jangan sampai berpeluang bahaya menjadi bom waktu secara jangka panjang.

Makanya saya sungguh-sungguh salut dengan Presiden Jokowi yang tidak bosan-bosan mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin pada Pilpres 2024, karena kelak menentukan nasib bangsa. Dalam keberlanjutan pembangunan, transisi kepemimpinan nasional kita memang butuh pemimpin yang tepat, aplikatif kerja nyata yang mampu mengakumulasi dan mengartikulasi secara seksama bonus demografi nyaris, sempurna menumbuhkan kesadaran tanpa menyisihkan bagian-bagian lainnya.

Populasi besar era bonus demografi saya lebih suka menyebutnya menantang, karena dibutuhkan usaha untuk memprosesnya. Artinya terpikirkan sangat serius dan opportunity pemuda harus menjadi peluang. Pemerintah ingin fungsi maksimal dan membanggakan dengan telah menyiapkan stimulus anggara yang fantastik. Maka tekad generasi muda juga harus transformasional, partisipatif, gotong royong, senang memilih membaurkan semua semangat ide-ide genuine, maupun gagasan visioner. Rekonsiliatif membangun titik temu konsensus, bersatu kolaborasi, solidaritas Kerjasama, di satu padukan seimbang dengan hubungan persahabatan, pikiran terbuka menghargai perbedaan, dan berakhlak mulia dengan menjaga jati diri budaya bangsa. 

Revolusi mental, tidak terbuai kemudian asal main trabas, citra keras kepala egosentris, alasan eksistensial dan dominasi akhirnya suka saling julid, berkedok atas nama kebebasan menyebarkan pandangan-pandangan bullying. Ngotot dengan idenya sendiri, menganggap sebagai terbaik meskipun secara praktis maupun pertimbangan berbagai hal tidak sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Bahkan tak jarang bersikap latah mementingkan emosi ketimbang mempertahankan esensi. Dan yang paling fatal lagi memilih menjadi pemuda yang bersemboyan que sera-sera (apa yang terjadi terjadilah).

Pemuda harus taubatan dari seluruh paparan kurang baik, yang terlanjur dicitrakan buruk. Sebab bagaimana mungkin dapat melakukan banyak hal, karya nyata eksplor budaya, pendidikan, dan berdaya teknologi. Sementara kemelekatan negatif justru dibiarkan terkristalisasi. Merenungkannya dan melawan diri sendiri, “perlawanan terhadap dunia, sama halnya dengan berani menyatakan perang terhadap diri sendiri,” kata Bung Karno. Mengapa tidak, sebab pemuda kekinian yang semakin cerdas, era sudah canggih, pendidikan yang modern, dan luas pergaulannya, mestinya bisa jauh lebih berani melawan diri sendiri.

Syarat tambahan lainnya, nampaknya pemuda perlu mengadopsi fatwa termasyhur Buya Syafii Maarif, “anak muda tidak hanya ombak yang berisik di tepi pantai. Melainkan jadi air bah yang ganas di tengah lautan”. Tepat, fatwa atau semboyan ini mengawali semangat kepeloporan pemuda selaku subjek dari tesis Indonesia gemilang mendatang.

Ingat sejarah kemerdekaan, semata-mata hasil dari kesamaan semangat persatuan kaum muda. melatarbelakangi pergerakan patriotik. Pergerakan para pemuda yang pada awalnya masih terbungkus gagasan-gagasan solidaritas yang bersifat etnis atau batas primordialisme kedaerahan. Kemudian akhirnya mampu terorganisir meleburkan diri ke dalam rasa sebangsa dan setanah air sebagai satu Indonesia Raya.

Pada puncak refleksi 78 tahun hari Kemerdekaan Republik Indonesia, stakeholder organ-organ konstitusional negara, dan pemuda Indonesia semoga menangkap getaran hikmahnya. Tapak sejarah ini untuk diteruskan melaju dengan lebih segera mempercepat kemajuan bangsa.

Mujammin Jassin - Ketua Kominfo DPP KNPI



Tags
SHARE