SHARE

Istimewa

Fenomena CFW

Perbincangan terkait urgensi hak kekayaan intelektual semakin menyeruak setelah kemunculan Citayam Fashion Week (CFW), yakni fenomena kumpulan remaja "Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok” (SCBD) yang melakukan pelbagai aktivitas terutama dalam memamerkan beragam jenis fesyen di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat.

Tren itu yang diistilahkan Menparekraf sebagai demokratisasi subsektor fesyen rupanya mengundang minat artis Baim Wong untuk mendaftarkan HAKI atas nama CFW ke Kemenkumham sebagai merek jasa peragaan busana melalui perusahaan PT Tiger Wong Entertainment agar nama CFW bernilai ekonomi.

Tak dapat disangkal, tindakan Baim Wong menimbulkan pro-kontra di kalangan publik. Sebagian berpendapat perbuatan itu merupakan bentuk monopoli dari sekelompok elit, sementara lainnya menilai niat dari Baim ialah memberikan perlindungan hukum terhadap CFW sehingga nantinya dapat menjadi sumber penghasilan bagi para remaja “SCBD”.

Terlepas dari polemik setuju atau tidak setuju, satu hikmah yang bisa diambil adalah timbulnya pemahaman masyarakat berkenaan dengan HAKI secara perlahan.

Karena isu HAKI CFW menggema hingga berbagai daerah di Indonesia, dapat dipastikan sebagian pelaku usaha ekraf mulai menelisik lebih jauh tentang urgensi pendaftaran produk ekraf ke HAKI.

Apalagi, PP No.24/2022 yang baru diteken menjanjikan rasa aman kepada pelaku usaha ekraf sehingga mereka terlindungi dari pelanggaran HAKI.

Sandiaga meyakini kebijakan itu menjadi pijakan awal bagi masa depan industri kreatif karena pelaku ekraf dapat memperoleh sumber pembiayaan dari lembaga keuangan bank atau nonbank jika mendaftarkan produk mereka ke HAKI, sehingga mereka mampu menciptakan pendapatan yang akan memenuhi kewajiban untuk membayar kredit dari lembaga keuangan.

Artinya, produk-produk ekraf kekayaan intelektual seperti lagu, lukisan, film, fesyen, atau seni pertunjukan bisa dijadikan objek jaminan utang/kolateral ke bank.

Namun, ada beberapa keresahan dari berbagai kalangan pelaku ekraf. Sutradara Hanung Bramantyo khawatir PP No. 24/2022 hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar pemilik kekayaan intelektual karena memiliki modal melimpah.

Dia menginginkan aturan itu secara khusus mampu memberikan pembiayaan untuk kreator yang minim dana, tetapi memiliki gagasan inovatif menimbang pelbagai industri kreatif besar pemilik kekayaan intelektual pada umumnya tak membutuhkan bank karena mereka dapat menggandeng private investor yang tidak menuntut bunga sebagaimana bank.

Begitu pula dengan pandangan musikus Anang Hermansyah yang mempertanyakan di antaranya bagaimana sistem pelaksanaan dan acuan penilaian karya kreatif sehingga dapat digunakan sebagai jaminan utang kepada lembaga keuangan.
 

Halaman :
Tags
SHARE