SHARE

Prof.Dr.H. Masri Mansoer, MA

CARAPANDANG.COM - Kita  merayakan Idul Fitri sebagai hari kemenangan karena kita telah berhasil menunaikan ibadah puasa Ramadan dengan  berbagai amalan-amalan shaleh yang dilakukan, yang pahalanya dijanjikan oleh Allah berlipat ganda, apalagi kalau kita ditakdirkan memperoleh malam kemuliaan Lailatul Qadar, yang pahalanya lebih baik dari amalan ibadah seribu bulan atau sekitar 83 tahun lebih.

Bulan Ramadan sebagai tamu agung yang penuh berkah, rahmah dan maghfirah itu, tinggal hitungan hari akan meninggalkan kita. Kita tidak tahu entah kita bisa lagi bertemu dengannya tahun depan atau tidak, tidak ada yang tahu. Tetapi yang pasti kita akan berpisah dengannya tahun ini. Mudah-mudahan kita telah berhasil memuliakan dan mengisinya dengan ibadah puasa dan berbagai amalan-amalan shaleh terutama di masa Covid -19 ini, kita memohon kepada Allah SWT semoga wabah pandemic Covid-19 ini cepat berlalu dan kita diberi umur panjang dan kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadhan pada tahun mendatang.
Puasa yang  kita jalankan adalah sebuah ibadah yang dilakukan dengan menahan haus-lapar, panca indra, pikiran dan hawa nafsu dengan ikhlas-penuh kesadaran untuk mengharap ridha Allah agar kita terlahir menjadi Insan yang bertaqwa dan fitri. Itulah sebabnya amalan ibadah puasa memiliki makna yang sangat luas, baik secara individual maupun sosial.

Tujuan puasa bukan hanya untuk menjadikan manusia sehat secara lahir-batin, agar dapat bekerja dan berkembang biak, melainkan untuk menjadi insan muttaqin sebagaimana diharapkan dari hasil berpuasa dalam surat al-Baqarah 183 "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".  

Insan muttaqin yaitu manusia yang dekat dengan Allah dan mampu memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut, syahwat sebagai Tuhan dan agama. Kemampuan mengendalikan syahwat ini akan melahirkan personal yang mampu memiliki sifat-sifat mulia seperti jujur, amanah, adil, syukur, punya pengendalian diri, pemaaf, punya kepekaan sosial, suka berbagi dan gemar berbuat kebaikan. 

Kata Taqwa dalam surat Al-Baqarah ayat 183, sebagai tujuan puasa لعللكم تتفون adalah fi`il mudhari` yang berarti melalui ibadah puasa kita berproses menjadi insan taqwa. Dalam bahasa Arab, kata لعلل (la`alla) disebut sebagai ungkapan Tarajji , artinya suatu harapan yang dapat diwujudkan (dicapai) dalam kenyataan/realitas keseharian. Bukan Tamanni yang berarti angan-angan atau khayal. Dengan demikian melalui ibadah puasa dapat dicapai/diraih derajat taqwa dan itu sesuatu yang dapat kita wujudkan dalam perilaku nyata keseharian kita.

Kata taqwa itu biasanya diartikan dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah dengan cinta untuk mengharapkan ridha-Nya.

Mari kita cermati pesan ayat 133-135 Ali Imran sebagai gambaran sifat-sifat orang yang muttaqin dalam dimensi psikologis dan sosial sebagai tanda/indicator keberhasilan puasa kita.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" (Ali Imram: 133-135).

Ayat-ayat di atas menjelaskankan bahwa tanda kualitas orang yang taqwa itu adalah: 1) segera mendekatkan diri kepada Allah dan menuju jalan surga-Nya; 2) selalu berinfaq dan bershadaqah dalam keadaan susah atau lapang; 3) mengendalikan emosi/marah; 4) pemaaf; 5) suka berbuat kebaikan; 6) dan senantiasa ingat kepada Allah, istighfar dan bertaubat atas segala dosa-kesalahan mereka.

Kualitas-kualitas ini adalah bersifat psikologis dan sosiologis dari orang yang bertaqwa-sebagai tujuan puasa. Karena memang semua tujuan ibadah dalam Islam selain mendekatkan diri kepada Allah adalah untuk membentuk dan meningkatkan kualitas sosial terutama solidaritas (kesetiakawanan) sosial. Yaitu perasaan sama sebagai umat Tuhan yang harus diikuti dengan saling bantu-membantu, tolong-menolong, kerjsama dan harga-menghargai tanpa disekat dan dibelenggu oleh masalah agama, suku, golongan, organisasi dan status sosial lainnya.

Kondisi masyarakat, khususnya di lingkungan kita akibat dampak pandemic Covid-19 ini sangat memprihatinkan banyak orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya-makan-minum, membiayai Kesehatan dan Pendidikan, untuk itu mari kita wujudkan solidaritas (kesetiakawanan) social dengan mengeluarkan ZIS, saling bantu-membantu, tolong-menolong dan kerjsama. Karena orang yang taqwa itu akan mencinta orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya. Rasullah bersabda "Cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai diri engkau sendiri,". 

Dalam hadist lain Nabi Muhammad SAW  bersabda "Kamu tidaklah disebut beriman sehingga mencintai saudaranya sepaerti apa mencintai dirinya,". 

Sungguh sangat disayangkan sudah setiap tahun kita melaksanakan puasa, tetapi cerminan dari hasil puasa masih jauh dari harapan. Puasa yang telah bertahun-tahun kita lakukan sepertinya belum terlalu membekas dalam diri kita, itu pasti ada yang salah dalam kita berpuasa. Niat dan rasa cinta dalam melaksanakan ibadah puasa menjadi kunci utama. Itulah sebabnya perlu kita evaluasi apakah keikhlasan dan puasa dengan rasa cinta telah terhunjam dalam hati sanubari kita atau hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan formalitas saja.

Karenanya mulai hari ini, kita perlu terus menerus melakukan upaya-upaya dan penyesuaian-penyesuaian agar tujuan puasa itu dapat direalisasikan pasca Idul Fitri nanti untuk menghadapi atau merespon tantangan-tantangan baru dalam kehidupan keberagamaan, social ekonomi dan politik akibat pandemic Covid-19 ini.  

Ada tiga jenis tantangan kehidupan keberagamaan kita ke depan: 1) tantangan yang bersifat personal/individu; 2) tantangan kehidupan keluarga; dan 3) tantangan dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.

Tantangan pertama: kehidupan keberagamaan perseorangan, ialah gaya hidup materialistik, hedonistik dan individualistik yang semakin fenomenal di tengah masyarakat kita. Arti dan manfaat tindakan kita selalu dinilai dan diukur dengan uang, materi, kenikmatan dan menjadikan materi sebagai tujuan hidup. Bahkan tidak jarang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi, harta dan jabatan. Gejala ini sejalan dengan sekularisme yang ujungnya mendorong manusia secara pelan dan pasti melupakan adanya kehidupan akhirat dan bahkan melupakan kehadiran Sang Maha Pencipta dalam hidupnya. Mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah kita lebih mencintai Allah dan amal shaleh daripada dunia (pekerjaan dan harta) kita…?. Buktinya korupsi, manipulasi dan kesewenang-wenangan terjadi disetiap lini, masjid yang banyak kita bangun megah-megah kosong ketika shalat berjamaah lima waktu dan sepi dari kegiatan kajian agama, untuk itu mari sekarang kita kendalikan nafsu hubuddunia kita dan kita ramaikan masjid dengan shalat berjamaah dan pengajian. Sebagaimana Firman Allah: "Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah dari kepada yang lain, "(al-Baqarah: 165).

Tantangan kedua dalam kehidupan keberagamaan keluarga kita. Di era kemajuan teknologi digital, informasi dan kebebasan berekpresi. Berbagai alat-alat komunikasi yang ada, seperti TV dan Hp telah membanjiri rumah dan anak kita dengan berbagai informasi, gambar dan adegan. Sebagian informasi itu ada yang baik/positif dan diperlukan bagi kemajuan kehidupan kita, seperti informasi tentang kemajuan Ipteks, informasi Kesehatan, Pendidikan, pengetahuan agama dan informasi kemajuan dunia lain.

Selain itu banyak pula informasi tidak baik/negative yang tidak kita perlukan sebagai muslim, seperti informasi tentang pornografi, pornoaksi, radikalisme, informasi kekerasan, prilaku menyimpang, penipuan, perdukunan, adudomba, hoax dan lain-lain. Kehadiran informasi-informasi seperti ini telah berdampak negative terhadap pikiran, perkataan dan tingkahlaku anak-anak kita, karena mencampuradukkan nilai-nilai yang tidak mengedukasi dan tidak bermoral dengan nilai-nilai agama. Apabila keluarga kita kurang mampu melakukan penyaringan dan seleksi, maka anak-anak kita akan dapat terpengaruh oleh nilai-nilai yang tidak baik itu. Kita semua wajib membentengi mereka dengan ajaran agama dan menjaga keluarga dan keturunan kita dari kehancuran dunia-akhirat, seperti firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari kehancuran (api neraka) yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu," (at-Tahrim: 6)

Adapun tantangan ketiga kehidupan masyarakat-bangsa kita, dua yang utama diantaranya ialah di bidang ekonomi dan pendidikan. Di bidang ekonomi, sampai tahun ini kita masih akan mengalami ketidakpastian ekonomi akibat wabah Covid-19. Negara masih akan devisit, pengangguran bertambah dan angka kemiskinan menaik dan persaingan hebat terjadi dimana-mana.

Untuk itu, maka kita dipanggil untuk menerapkan nilai berhemat, nilai kesetiakawanan sosial, berbagi dan tolong menolong seperti yang telah kita latihkan selama bulan puasa Ramadhan. Kita harus lebih sering lagi berbagi, kita harus lebih dermawan dan suka menolong ke depannya. Bagi mereka yang memiliki modal, hendaklah segera menginvestasikannya di sektor ekonomi riil untuk ikut menumbuhkan lapangan kerja. Bagi mereka yang bergerak di bidang sosial, agar segera memperkuat system kesejahteraan social, termasuk melalui simpul-simpul dan lembaga keagamaan agar sumberdaya atau kekayaan tidak hanya bergulir di kalangan segelintir orang kaya saja. Mari kita kumpulkan ZIS kita secara disiplin, rutin dan jujur agar dapat memperbaiki keadaan pendidikan dan ekonomi masyarakat sekitar kita yang kurang beruntung. Agar kekayaan itu tidak beredar di kalangan mereka yang kaya saja.

Idul fitri adalah tanda puncak dari sebuah kesuksesan dalam berpuasa. Dalam fase ini manusia diistilahkan kembali ke fitrah. Yaitu kembali pada kesucian dan kebersihan baik fisik maupun mental. Gemblengan saat puasa diharapkan menjadikannya bersih lahir-batin sehingga predikat muttaqin itu benar-benar diperolehnya. Orang yang berhasil dari masa penggemblengan itu akan memiliki hati yang tulus, berpikiran jernih, dan memiliki sifat kedewasaan, kedamaian dan kemanusiaan yang lebih baik dari sebelumnya.

Idul fitri menjadi puncak dari sebuah ibadah puasa yang sudah dilakukan selama sebulan sehingga nampak di dalam pribadinya yaitu pribadi yang lebih peka terhadap persoalan sesamanya. Ia akan lebih dermawan karena itu Ia akan lebih mementingkan saudaranya daripada dirinya sendiri. Orang yang beriman harus lebih banyak berkorban daripada mencari kemegahan diri pribadinya dengan mengorban yang lain.

Kita berharap semoga puasa tahun ini menjadikan kita lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Sehingga kita mampu melakukan transformasi personal yang akan membuahkan transformasi sosial, karena perubahan pribadi yang lebih baik akan menjadikan dasar perubahan yang lebih baik pula dalam masyarakat kita. Amal ibadah puasa yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh, ikhlas, cinta dan istiqamah pasti akan membekas dalam diri kita. Sehingga kita akan menjadi orang yang benar-benar bertaqwa, yaitu orang yang tidak ingin menang dan baik sendiri di dalam hidup ini tetapi ingin selalu bermanfaat bagi orang lain.

Semoga puasa kita kali ini adalah tonggak perubahan bagi diri kita dan masyarakat kita untuk mencapai masyarakat utama baldatun tayyibatun warobun ghofur. Amin. [*]

*Oleh. Prof.Dr.H. Masri Mansoer, MA (Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta​). 

Tags
SHARE