SHARE

Arif Yudistira

CARAPANDANG.COM - "Duh, Pak, tolong maklumi Ihsan Pak, baru lima menit belajar daring, anaknya sudah bermain sama temannya". Itulah tadi sekilas keluhan orangtua saat menghadapi pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 ini. Tidak dipungkiri, belajar daring memang amat berbeda dengan belajar secara tatap muka. Namun belajar daring adalah salah satu strategi yang terpaksa ditempuh untuk menyelamatkan nasib mereka.

Nyawa anak-anak kita menjadi jauh lebih penting ketimbang memaksakan diri untuk belajar dengan tatap muka (luring). Menurut data terbaru resmi dari IDAI pada anak 0-17 tahun hingga 15 juni tercatat 3064 anak terkonfirmasi Covid-19, dan 28 orang diantaranya telah meninggal dunia.

Sampai saat ini kebijakan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah membuka kembali tahun ajaran baru dengan penerapan pembelajaran sistem daring, luring maupun elaborasi dari keduanya dengan mempertimbangkan zona hijau, kuning, maupun merah. Kebijakan itu ditempuh untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya penularan Covid-19  lebih masif. Kebijakan pendidikan di masa daring ini memang cenderung tidak tersistem, terstruktur dan rapi. Banyak kritikan ditujukan kepada Kemendikbud mengenai alternatif pembelajaran daring.

Pembelajaran daring memang merupakan kebiasaan baru di era pandemi ini. Sayangnya, kebijakan daring ini masih belum beres dari sisi tuntutan efektifitas pembelajaran dengan sarana pembelajaran. Guru dan sekolah dituntut untuk efektif menyampaikan materi belajar dan juga memiliki metode semenarik mungkin di mata siswa.

Namun sayang, sekolah dan fasilitas yang dimiliki belum efektif untuk mendukung pola pembelajaran daring. Di daerah Indonesia Timur saja seperti Maluku, Papua, maupun Kalimantan belum sepenuhnya memiliki jaringan listrik terlebih internet. Mereka dituntut untuk belajar dengan metode daring, namun fasilitas dan prasarana yang dibutuhkan untuk menopang pembelajaran daring belum sepenuhnya lengkap, bahkan belum ada.

Anak di masa pandemi memang menjadi korban yang rentan secara psikis maupun secara fisik. Mereka dihadang oleh bahaya covid yang setiap saat bisa menyerang. Mereka juga dihantam betapa menjemukan dan menjenuhkan belajar secara daring. Di hadapan ponsel pintar mata mereka dipaksa untuk berjam-jam menyimak pembelajaran melalui ruang digital.

Tubuh yang tak bergerak, mata yang pedas, banyaknya tugas yang dibebankan kepada mereka kadang membuat anak-anak menjadi rentan stress dan terkena gangguan secara psikis. Anak-anak pada akhirnya memilih bermain dengan teman mereka. Bermain gobak sodor, petak umpet, sepedaan, layangan dan aneka permainan tradisional mereka. Ada satu sisi kebanggan yang kita rasakan selaku orangtua saat mereka seperti menemukan dunia mereka kembali setelah lama mereka tidak memeluknya.

Pandemi seperti sekarang ini justru seperti mengembalikan jiwa mereka yang natural. Jiwa yang merdeka, tertawa lepas tanpa memikirkan beban belajar di masa pandemi. Di siang hari, mereka harus menyimak materi melalui telepon pintar mereka dari bapak atau ibu guru. Sementara di malam harinya, mereka harus mengerjakan tugas yang ditinggalkan oleh bapak atau ibu guru mereka. Inilah realitas anak-anak kita di kala pandemi. Mereka nampak terbebani dengan tugas dan juga model pembelajaran yang tidak akrab dan bukan merupakan bagian keseharian mereka sebelumnya. Bukan pembelajaran yang menubuh di badan dan pikiran mereka. Namun hal ini tetap dipaksakan karena situasi pandemi yang kian parah korbannya.

Dari sisi kebijakan pendidikan, pemerintah baru saja mengeluarkan kurikulum darurat yang memberikan sedikit angin segar bagi guru dan sekolah. Salah satu angin segar itu adalah pengurangan beban materi ke anak didik kita, serta keluwesan dalam penilaian belajar di kala pandemi. Kurikulum ini harus disikapi secara arif, pada satu sisi kita memang tidak boleh terlalu menuntut kemampuan akademik siswa, di sisi lain, kita juga memberikan bekal kepada mereka anak didik kita agar memiliki kecakapan umum seperti matematis, logis maupun bahasa.

Salah satu komponen penting dalam pembelajaran yang mungkin agak terlewat di masa pandemi ini adalah bagaimana mengontrol dan mendidik siswa dalam pendidikan karakter. Sebelum pandemi, anak didik kita bisa lebih mudah dan efektif menerima materi yang disampaikan guru berkaitan dengan pendidikan karakter. Melalui ragawi dan secara pikiran penuh konsentrasi mereka lebih kondusif. Sedangkan saat mereka di rumah, mereka kurang konsentrasi dan lebih tergoda untuk bermain tanpa kontrol. Pada aspek yang lain, orangtua bisa sibuk dengan pekerjaan rumah mereka, atau bekerja di kantor bagi orangtua yang berprofesi kantoran. Hal ini jelas sangat berpengaruh terhadap intensitas penyerapan materi yang disampaikan guru berkaitan dengan pendidikan karakter.

Idealnya pendidikan karakter bisa didampingi lebih maksimal saat orangtua anak mendampingi mereka belajar dari rumah. Akan tetapi, pada kenyataannya, hampir 85% orangtua adalah pekerja. Ini memungkinkan anak lebih rentan dalam pengawasan dalam pembelajaran. Ada beberapa orangtua yang mensiasati situasi ini dengan membagi peran antara ayah dan ibu mereka. Namun, bagi yang orangtua yang terpaksa harus bekerja untuk menopang perekonomian keluarga, pendampingan belajar kemudian menjadi sedikit terhambat. Orangtua mereka harus merelakan dirinya untuk menunda istirahat mereka di malam hari untuk belajar bersama anak mereka dengan menyimak ponsel pintar dan memantau materi dari sekolah.

Kreativitas Sekolah

Situasi pandemi ini mau tidak mau menuntut sekolah untuk cepat beradaptasi atau sebaliknya tertinggal dari perubahan yang cukup cepat dalam dunia pendidikan. Sekolah yang cepat beradaptasi, mereka tidak terlalu memikirkan kendala ekonomi sekolah, kendala prasarana, hingga hambatan belajar di masa pandemi. Sebab mereka memiliki studio dan aneka kelengkapan lain yang menopang pembelajaran daring mereka. Anak-anak bisa lekas beradaptasi karena terbiasa memakai telepon pintar.

Bagi sekolah yang tidak bisa mengikuti perubahan dalam situasi pendidikan seperti sekarang ini, mereka benar-benar harus menerima pukulan telak. Banyak sekolah terpaksa tutup karena murid dan sekolah tidak mampu beradaptasi. Inilah tantangan dari situasi pandemi saat ini. Para orangtua, murid maupun guru selaku elemen penting dalam dunia pendidikan,  dipaksa harus menambah energi mereka untuk tertantang lebih inovatif, kreatif dan terus menjaga etos mereka. [*]

*Oleh: Arif Yudistira 

Penulis merupakan Kepala Sekolah SDIT Pelita Umat dan Penulis Buku Mendidik Anak-anak Berbahaya (2020)

Tags
SHARE